Sunday, October 9, 2011

Sekilas tentang 'Dhaif'

Dhaif atau daif berasal dari bahasa Arab ḍa’if yang berarti lemah. Jadi secara harfiah, hadis daif berarti hadis yang lemah. Dalam ilmu hadis, istilah ini didefinisikan sebagai hadis yang tidak memenuhi syarat hadis yang sahih ataupun hadis hasan.
Secara garis besar, ada tiga penyebab sebuah hadis dimasukkan ke dalam kategori hadis daif.
(1)   Sanadnya terputus karena satu periwayatnya gugur, baik karena tidak disebutkan atau tidak diketahui. Atau bisa jadi salah satu periwayatnya tidak hidup dalam zaman atau masa yang sama, atau tidak pernah bertemu dengan periwayat sebelumnya.
(2)     Salah satu periwayatnya tidak memenuhi
syarat sifat adil dan ḍabit (kuat ingatan dan teliti dalam meriwayatkan hadis).
(3)       Terdapat kejanggalan (syāż) atau cacat tersembunyi (‘ilah) dalam hadis tersebut. Misalnya, hadis itu bertentangan dengan riwayat lain yang kualitasnya lebih tinggi.
Untuk masing-masing dari tiga penyebab ini, ulama hadis membuat pemilahan yang beragam dengan nama-nama hadis yang juga bermacam-macam. Diantaranya hadis munqaṭi’ (seorang periwayat dalam sanadnya tidak disebutkan), hadis mu’ḍal (dalam sanadnya tidak disebutkan dua periwayat berturut-turut), hadis mu’allal (mengandung cacat tersembunyi), hadis syāż (bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat), dan hadis matrūk (diriwayatkan oleh orang yang kerap berdusta atau sangat sering lupa dan melakukan kekeliruan).
Perihal mengenai pengamalan hadis daif sebagai landasan (hujjah), para ulama memiliki tiga kelompok pendapat berbeda. Kelompok pertama, menolak secara mutlak pengamalan hadis daif. Dalam pandangan kelompok ini, yang dapat dijadikan hujjah dalam perkara agama adalah hadis-hadis yang memberikan dugaan kuat (żann rājih) bahwa ia benar-benar berasal dari Nabi saw. Hadis daif tidak memenuhi syarat ini. Ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Bakar bin al-‘Arabi.
Kelompok kedua, menerima pengamalan hadis daif secara mutlak, selama kadar kedaifannya tidak terlalu berat. Bagi mereka, berpegang kepada hadis yang diduga berasal dari Nabi saw. tetap lebih baik ketimbang menggantinya dengan pendapat manusia biasa. Diantara yang berpendapat demikian adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Daud.
Adapun kelompok ketiga, menerima dan mengamalkan hadis daif sebatas dalam masalah nasihat, motivasi untuk beramal baik dan menjauhi perbuatan buruk, serta dalam amalan tambahan. Itu pun dengan beberapa syarat, yaitu kedaifannya tidak terlalu berat, ajaran yang dikandungnya termuat dalam suatu aturan umum yang ditetapkan berdasar sumber lain, dan ketika mengamalkannya tidak boleh meyakininya sebagai benar-benar bersumber dari Nabi saw., melainkan hanya untuk kehati-hatian dan kesempurnaan amal saja. Sementara, dalam masalah hukum syara’ dan akidah, mereka menolak mengamalkan hadis daif. Mayoritas ulama hadis dan fikih mengikuti pandangan ketiga ini.


source: Ensiklopedia Fikih Remaja

0 comments:

Post a Comment