Tuesday, April 7, 2015

Amplop Kecil

melanjutkan.... Ujian Manusia

Aku masih terjaga di dalam kamar lembab berukuran 2x3 meter ini. Apapun dan bagaimanapun amarahku pada Tuhan, tak ada yang mengalahkan besarnya amarahku pada adikku, dan pada diriku sendiri. Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer lebih, akhirnya aku menemukan motel kumuh ini. Kali ini aku sependapat dengan Tuhan yang mempertemukanku dengan motel kumuh yang papan namanya pun sudah usang dan hampir roboh. Aku bersyukur bisa menemukan motel kumuh ini, karena hanya motel jenis inilah yang sanggup aku upayakan biaya per malamnya.

Kebencianku pada kota dingin ini kian tumbuh subur meski aku tak memupuknya. Tuhan nampaknya masih belum bersedia menggerakkan jari-jari adikku untuk menekan pilihan konfirmasi telepon pada kontak namaku. Aku benar-benar tak tahan dengan ketidakberuntungan yang aku adu di kota ini. Aku kalah pada keadaan. Iya, kali ini aku menyerah. Atau hampir menyerah. 
***



Masih bisa kusyukuri keadaan sialku diatas kasur persegi panjang yang lengkap dengan hewan kecil yang orang sebut ‘kepinding’. Meski kulitku sedaritadi digigiti olehnya, tak kurasa iba pada nasibku sendiri. Mungkin karena aku telah terbiasa menerima nasib yang jauh lebih buruk daripada sekedar menjadi makan malam belasan ekor kepinding dikasurku ini.

Ketika aku hendak tertidur, seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Nona, apa kau sudah tidur?”

“Belum, Bu.” jawabku sambil beranjak membukakan pintu.

“Kau telah menjatuhkan sesuatu di depan pintu.” kata ibu pemilik motel sambil menyodorkan sepucuk amplop kecil ke arahku.

“Oh... iya, terima kasih, Bu.”

Aku baru ingat, seorang ibu telah memberiku amplop kecil ini di kereta tadi siang. Akupun mulai membuka amplop itu dengan perlahan, memastikan agar apapun isinya tak akan rusak tersobek.

Apa ini? Secarik kertas yang nampaknya dilipat sedemikian rupa hingga tampak tebal terlihat menyembul dari sudut amplop. Aku yang semakin penasaran, berusaha untuk menahan rasa gelisahku. Puluhan pertanyaan mencul dibenakku.

Tuhan, surat apakah ini? Apa isi surat ini? Tunggu, apakah ini sebuah surat? Siapa yang memberikan ini padaku? Mengapa ia menaruhnya dalam amplop sekecil ini?

Belum sempat kubuka lipatan kertas itu, ponselku berbunyi. Bukan nada dering sms yang ku dengar. Ini nada dering telepon. Kulihat jam di dinding. Siapa yang menelponku tengah malam begini? Pikirku. Bergegas kulihat nama penelpon di layar ponselku.

Adikku. Yah, dia menelponku, setelah sekian ratus kali aku mengutuknya dalam hati.

“Hallo...”

Tunggu dulu, apakah ini benar-benar adikku? Suaranya terdengar sangat parau.
“Hallo. Suaramu.... kenapa begitu?”

“Aku baik-baik saja, Kak."

"Kau... kenapa kau tak membiarkanku menemuimu? Apakah kau baik-baik saja?"

"Jangan khawatirkan aku. Aku dan suamiku sedang ada masalah. Nanti juga kami akan kembali membaik....”

“Kau sekarang ada dimana?”

“...Aku hanya tidak ingin kau sedih.”

Sesaat aku terdiam mendengar kalimatnya yang terakhir.

“Kau tahu? Sudah cukup lama Tuhan tidak mengizinkanku untuk merasakan bahagia. Kenapa kau takut membuatku sedih? Ceritakan padaku, apa masalahmu! Aku yakin aku tak akan sedih mendengarnya.”

Kali ini adikku yang terdiam beberapa saat.

“Aku bosan dengan kepura-puraanku...” seketika adikku menangis terisak. “Aku tak tahan dengan hidupku, Kak.”

“Hey! Kau ini bicara apa?? Tenangkan dulu dirimu! Kau sedang ada dimana saat ini? Aku akan kesana sekarang.”

“Tidak perlu, Kak. Sudah kubilang aku baik-baik saja,” kata adikku dengan suara parau disertai tawa singkatnya yang sangat terkesan dipaksakan.

Adikku bercerita panjang tentang kisahnya yang sungguh aku tak pernah percaya hingga saat ini. Tentang dirinya yang seringkali mendapat pukulan di pelipis matanya, tentang rusuknya yang hampir patah akibat dihajar penebah rotan, tentang betisnya yang sesekali diinjak dengan kaki kasar suaminya ketika ia tengah mabuk.

“Kau.... ada dimana sekarang?” tanyaku lemas mendengar semua kisahnya yang sangat berbanding terbalik dengan utopia kehidupannya yang sempurna dalam khayalanku.

Nampaknya adikku merasa sedikit lega atas terlepasnya beban yang ia muntahkan melalui teleponnya.

“Kakak, maukah kakak berjanji satu hal padaku?”

“....tergantung apa yang kau minta...”

“.... berjanjilah untuk tidak menikah. Pernikahan hanyalah bualan kebahagiaan yang semu. Menikah tak se-membahagiakan seperti yang pernah kita angan-angankan dulu saat kita masih kecil, Kak. Berjanjilah untuk tidak menikah. Demi aku dan hidup kita.”

Seketika aku terdiam mendengar kalimat adikku yang terakhir. Aku tertegun tak bergerak. Air mataku mengucur tanpa permisi tumpah dari mataku yang terbelalak mendengar permintaan adikku. Aku benar-benar kehabisan kata. 

Aku bisa saja mengiyakan dan tak akan menikah seumur hidupku. Namun, disisi lain hatiku memaksaku untuk menolak janji tersebut dan menutup telpon orang yang membuatku kelimpungan dan membuat hidupku terkesan menyedihkan itu. Aku bisa saja menolak janji tersebut dan berkata ‘kau tak berhak memintaku berjanji untuk menghiburmu dengan mengiyakan pintamu’ atau ‘kau yang gagal bahagia, kenapa aku juga harus merasakan ketidakbahagiaan itu?’.

“Iya, aku janji. Aku tak akan menikah. Sudah, tidurlah. Apa kau tidak kasihan anakmu, jika kau sakit? Dimana pun kau berada saat ini, aku berharap kau baik-baik saja.”

“Kuharap begitu. Jaga dirimu, Kak. Aku merindukanmu. Semoga kau tak pernah merasakan hal yang aku rasakan saat ini.”

“Tidurlah....”

Kami mengakhiri telepon dengan janji aneh yang adikku minta. Tubuhku masih lemas. Pandanganku nanar menatap tembok kamar motelku.

Tuhan, apakah ini jawaban doaku? Apakah ini jawaban atas kecemburuanku pada kehidupannya yang dulu kuanggap sempurna? Bukan, Tuhan, bukan begini maksudku. Aku tak pernah berharap ia tidak bahagia. Aku hanya berharap agar aku bahagia. Itu saja. Aku tak pernah berharap ia dipukul, dihajar, diinjak. Tidak, Tuhan, tidak seperti itu yang kuinginkan. Aku hanya ingin kehidupan sempurna yang pernah kucemburui darinya, menikah, hidup berkeluarga dan bahagia. Itu saja.

Baiklah, aku akui aku pernah mengutuknya atas kesialanku kemarin, tapi bukan ini yang kuinginkan, Tuhan. Aku tak pernah sungguh-sungguh marah padanya, Tuhan. Bagaimanapun, dia adalah adikku. Satu-satunya keluargaku yang mau menganggapku keluarganya.

Menjadi wanita yang bahagia atau tidak bahagia, aku tak lagi peduli. Apa salahnya jika aku tak menikah? Lagipula, dengan usiaku yang sudah hampir tiga puluhan ini aku tak perlu banyak memikirkan laki-laki. Aku pun dapat hidup tanpanya. Aku masih dapat bekerja meski hanya sebatas pelayan bar sekalipun. Lagipula siapa laki-laki yang mencintai wanita sepertiku.

Tak sengaja mataku menangkap sepucuk amplop yang tadi ku robek ujungnya. Aku pun segera menghapus air mataku dan buru-buru mengambil isi amplop tersebut dan membuka lipatan kertasnya. Kertasnya putih polos tak bergaris, namun terdapat sedikit tulisan diatas kertas itu yang berbunyi:

Maafkan aku, karena aku memandangimu tanpa sepengetahuanmu sedaritadi.
Kuharap Tuhan mengizinkan kita untuk bertemu lagi. Kuharap kau tak marah menerima surat ini. Kuharap kau tak menganggapku penguntit. Maaf, aku banyak berharap. Senang sekali bisa bertemu denganmu. Meski kita tak sempat berbincang.
Salam kenal,
Rido


Bersambung....

1 comment:

  1. Maafkan aku, karena aku mencintaimu tanpa sepengetahuanmu.

    Kuharap Tuhan mengizinkan kita untuk bersanding di pelaminan. Kuharap kau tak marah membaca komentar ini. Maaf, aku mendoakanmu selalu. Senang sekali bisa belajar B.Inggris denganmu, meski kita tak sempat berbincang.

    Salam hangat,
    Kharis

    ReplyDelete