melanjutkan.... Ujian Manusia
Aku masih terjaga di dalam kamar lembab berukuran 2x3 meter ini. Apapun dan bagaimanapun amarahku pada Tuhan, tak ada yang mengalahkan besarnya amarahku pada adikku, dan pada diriku sendiri. Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer lebih, akhirnya aku menemukan motel kumuh ini. Kali ini aku sependapat dengan Tuhan yang mempertemukanku dengan motel kumuh yang papan namanya pun sudah usang dan hampir roboh. Aku bersyukur bisa menemukan motel kumuh ini, karena hanya motel jenis inilah yang sanggup aku upayakan biaya per malamnya.
Aku masih terjaga di dalam kamar lembab berukuran 2x3 meter ini. Apapun dan bagaimanapun amarahku pada Tuhan, tak ada yang mengalahkan besarnya amarahku pada adikku, dan pada diriku sendiri. Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer lebih, akhirnya aku menemukan motel kumuh ini. Kali ini aku sependapat dengan Tuhan yang mempertemukanku dengan motel kumuh yang papan namanya pun sudah usang dan hampir roboh. Aku bersyukur bisa menemukan motel kumuh ini, karena hanya motel jenis inilah yang sanggup aku upayakan biaya per malamnya.
Kebencianku pada kota dingin ini kian tumbuh
subur meski aku tak memupuknya. Tuhan nampaknya masih belum bersedia
menggerakkan jari-jari adikku untuk menekan pilihan konfirmasi telepon pada
kontak namaku. Aku benar-benar tak tahan dengan ketidakberuntungan yang aku adu
di kota ini. Aku kalah pada keadaan. Iya, kali ini aku menyerah. Atau hampir
menyerah.
***
Masih bisa kusyukuri keadaan sialku diatas kasur
persegi panjang yang lengkap dengan hewan kecil yang orang sebut ‘kepinding’.
Meski kulitku sedaritadi digigiti olehnya, tak kurasa iba pada nasibku sendiri.
Mungkin karena aku telah terbiasa menerima nasib yang jauh lebih buruk daripada
sekedar menjadi makan malam belasan ekor kepinding dikasurku ini.
Ketika aku hendak tertidur, seseorang mengetuk
pintu kamarku.
“Nona, apa kau sudah tidur?”
“Belum, Bu.” jawabku sambil beranjak membukakan
pintu.
“Kau telah menjatuhkan sesuatu di depan pintu.”
kata ibu pemilik motel sambil menyodorkan sepucuk amplop kecil ke arahku.
“Oh... iya, terima kasih, Bu.”
Aku baru ingat, seorang ibu telah memberiku
amplop kecil ini di kereta tadi siang. Akupun mulai membuka amplop itu dengan
perlahan, memastikan agar apapun isinya tak akan rusak tersobek.
Apa ini? Secarik kertas yang nampaknya dilipat sedemikian rupa hingga tampak tebal
terlihat menyembul dari sudut amplop. Aku yang semakin penasaran, berusaha
untuk menahan rasa gelisahku. Puluhan pertanyaan mencul dibenakku.
Tuhan, surat apakah ini? Apa isi surat ini? Tunggu, apakah ini sebuah
surat? Siapa yang memberikan ini padaku? Mengapa ia menaruhnya dalam amplop
sekecil ini?
Belum sempat kubuka lipatan kertas itu, ponselku berbunyi. Bukan nada
dering sms yang ku dengar. Ini nada dering telepon. Kulihat jam di dinding.
Siapa yang menelponku tengah malam begini? Pikirku. Bergegas kulihat nama
penelpon di layar ponselku.
Adikku. Yah, dia menelponku, setelah sekian ratus kali aku mengutuknya
dalam hati.
“Hallo...”
Tunggu dulu, apakah ini benar-benar adikku? Suaranya terdengar sangat
parau.
“Hallo. Suaramu.... kenapa begitu?”
“Aku baik-baik saja, Kak."
"Kau... kenapa kau tak membiarkanku menemuimu? Apakah kau baik-baik saja?"
"Jangan khawatirkan aku. Aku dan suamiku sedang ada masalah. Nanti juga kami akan kembali membaik....”
"Kau... kenapa kau tak membiarkanku menemuimu? Apakah kau baik-baik saja?"
"Jangan khawatirkan aku. Aku dan suamiku sedang ada masalah. Nanti juga kami akan kembali membaik....”
“Kau sekarang ada dimana?”
“...Aku hanya tidak ingin kau sedih.”
Sesaat aku terdiam mendengar kalimatnya yang terakhir.
“Kau tahu? Sudah cukup lama Tuhan tidak mengizinkanku untuk merasakan
bahagia. Kenapa kau takut membuatku sedih? Ceritakan padaku, apa masalahmu! Aku
yakin aku tak akan sedih mendengarnya.”
Kali ini adikku yang terdiam beberapa saat.
“Aku bosan dengan kepura-puraanku...” seketika adikku menangis terisak.
“Aku tak tahan dengan hidupku, Kak.”
“Hey! Kau ini bicara apa?? Tenangkan dulu dirimu! Kau sedang ada dimana
saat ini? Aku akan kesana sekarang.”
“Tidak perlu, Kak. Sudah kubilang aku baik-baik saja,” kata adikku dengan
suara parau disertai tawa singkatnya yang sangat terkesan dipaksakan.
Adikku bercerita panjang tentang kisahnya yang sungguh aku tak pernah
percaya hingga saat ini. Tentang dirinya yang seringkali mendapat pukulan di
pelipis matanya, tentang rusuknya yang hampir patah akibat dihajar penebah
rotan, tentang betisnya yang sesekali diinjak dengan kaki kasar suaminya ketika
ia tengah mabuk.
“Kau.... ada dimana sekarang?” tanyaku lemas mendengar semua kisahnya yang
sangat berbanding terbalik dengan utopia kehidupannya yang sempurna dalam
khayalanku.
Nampaknya adikku merasa sedikit lega atas terlepasnya beban yang ia
muntahkan melalui teleponnya.
“Kakak, maukah kakak berjanji satu hal padaku?”
“....tergantung apa yang kau minta...”
“.... berjanjilah untuk tidak menikah. Pernikahan hanyalah bualan
kebahagiaan yang semu. Menikah tak se-membahagiakan seperti yang pernah kita
angan-angankan dulu saat kita masih kecil, Kak. Berjanjilah untuk tidak
menikah. Demi aku dan hidup kita.”
Seketika aku terdiam mendengar kalimat adikku yang terakhir. Aku tertegun
tak bergerak. Air mataku mengucur tanpa permisi tumpah dari mataku yang
terbelalak mendengar permintaan adikku. Aku benar-benar kehabisan kata.
Aku
bisa saja mengiyakan dan tak akan menikah seumur hidupku. Namun, disisi lain
hatiku memaksaku untuk menolak janji tersebut dan menutup telpon orang yang membuatku
kelimpungan dan membuat hidupku terkesan menyedihkan itu. Aku bisa saja menolak
janji tersebut dan berkata ‘kau tak berhak
memintaku berjanji untuk menghiburmu dengan mengiyakan pintamu’ atau ‘kau yang
gagal bahagia, kenapa aku juga harus merasakan ketidakbahagiaan itu?’.
“Iya, aku janji. Aku tak akan menikah. Sudah, tidurlah. Apa kau tidak
kasihan anakmu, jika kau sakit? Dimana pun kau berada saat ini, aku berharap
kau baik-baik saja.”
“Kuharap begitu. Jaga dirimu, Kak. Aku merindukanmu. Semoga kau tak pernah merasakan
hal yang aku rasakan saat ini.”
“Tidurlah....”
Kami mengakhiri telepon dengan janji aneh yang adikku minta. Tubuhku masih
lemas. Pandanganku nanar menatap tembok kamar motelku.
Tuhan, apakah ini jawaban doaku? Apakah ini jawaban atas kecemburuanku pada
kehidupannya yang dulu kuanggap sempurna? Bukan, Tuhan, bukan begini maksudku.
Aku tak pernah berharap ia tidak bahagia. Aku hanya berharap agar aku bahagia.
Itu saja. Aku tak pernah berharap ia dipukul, dihajar, diinjak. Tidak, Tuhan,
tidak seperti itu yang kuinginkan. Aku hanya ingin kehidupan sempurna yang
pernah kucemburui darinya, menikah, hidup berkeluarga dan bahagia. Itu saja.
Baiklah, aku akui aku pernah mengutuknya atas kesialanku kemarin, tapi
bukan ini yang kuinginkan, Tuhan. Aku tak pernah sungguh-sungguh marah padanya,
Tuhan. Bagaimanapun, dia adalah adikku. Satu-satunya keluargaku yang mau
menganggapku keluarganya.
Menjadi wanita yang bahagia atau tidak bahagia, aku tak lagi peduli. Apa salahnya jika aku tak
menikah? Lagipula, dengan usiaku yang sudah hampir tiga puluhan ini aku tak
perlu banyak memikirkan laki-laki. Aku pun dapat hidup tanpanya. Aku masih dapat
bekerja meski hanya sebatas pelayan bar sekalipun. Lagipula siapa laki-laki
yang mencintai wanita sepertiku.
Tak sengaja mataku menangkap sepucuk amplop yang tadi ku robek ujungnya.
Aku pun segera menghapus air mataku dan buru-buru mengambil isi amplop tersebut dan membuka lipatan kertasnya.
Kertasnya putih polos tak bergaris, namun terdapat sedikit tulisan diatas kertas itu yang berbunyi:
Maafkan aku, karena aku memandangimu tanpa sepengetahuanmu sedaritadi.
Kuharap Tuhan mengizinkan kita untuk bertemu lagi. Kuharap kau tak marah
menerima surat ini. Kuharap kau tak menganggapku penguntit. Maaf, aku banyak
berharap. Senang sekali bisa bertemu denganmu. Meski kita tak sempat berbincang.
Salam kenal,
Rido
Maafkan aku, karena aku mencintaimu tanpa sepengetahuanmu.
ReplyDeleteKuharap Tuhan mengizinkan kita untuk bersanding di pelaminan. Kuharap kau tak marah membaca komentar ini. Maaf, aku mendoakanmu selalu. Senang sekali bisa belajar B.Inggris denganmu, meski kita tak sempat berbincang.
Salam hangat,
Kharis