Kota dataran tinggi tempat ku singgah ini tak sedingin dua tahun lalu. Dua tahun lalu, aku sengaja singgah disini untuk membantu adikku mengemasi barang-barangnya karena ia hendak pindah rumah. Aku hanya singgah selama tiga hari, karena aku memang tak bisa tinggal di kota ini lebih lama. Sama seperti adikku, aku harus bekerja juga. Kami sama-sama sibuk. Hanya mungkin yang membedakan kami adalah dia telah berkeluarga, dan aku masih sendiri. Yah, aku masih saja membujang dikala adikku sudah hampir beranak dua dan hidup bahagia, meski bagiku kehidupanya sangatlah sederhana.
Aku masih ingat jelas, bagaimana cuaca sempat mempermainkanku saat itu. Cukup susah bagiku memahami cuaca kota ini. Malam hingga pagi, aku akan merasakan dingin yang teramat dingin hingga membuat seisi rahangku gemeretak. Namun disiang harinya, sengatan matahari lebih sakit hingga lapis kulit terdalam, panas sekali. Aku benci dua tahun lalu.
Tahun yang tak tahu adat. Tahun yang membuat risau hati yang belum sembuh dari luka yang dibuat oleh seseorang sejak bertahun-tahun yang lalu. Tahun yang mengotori hati dengan kesedihan dan kedengkian. Tahun dimana kalimat "Mengapa aku belum juga merasakan bahagia?" selalu berputar-putar di kepalaku.
***
Jarak kota ini dari kota tempat tinggal ku cukup jauh memang. Tapi, tak akan makan waktu lama jika ditempuh dengan kereta api. Mungkin hanya tiga setengah jam saja.
Kali ini, aku harus mengantar bingkisan untuk adikku yang beberapa bulan lalu melahirkan anak kedua nya. Aku pun berangkat naik kereta pagi yang terjadwal berangkat pukul 8 dari kota ku. Dengan hati rindu pada adik, namun juga rasa berat karena cemburu dengan kesempurnaan kisahnya, segera aku memasuki gerbong kereta itu, dan menuju bangku bernomor sesuai dengan tiket ku.
Kereta pagi memang selalu begini. Ramai dengan pedagang makanan dan pelancong yang hendak berlibur ke dataran tinggi. Terkadang aku bosan. Aku bosan dengan situasinya yang sama saja. Musik Melayu yang diputar berulang-ulang, teriakan pedagang makanan dan tangisan anak-anak kecil menjadi soundtrack khusus menit-menit ku di kereta. Karena itulah selama perjalanan, aku lebih suka tidur untuk membuang sisa-sisa kebosanan ku.
"Nona, bangunlah, kita sudah sampai." tegas seorang ibu yang sempat berbincang denganku sebelum aku tertidur. "Seseorang memberiku ini, dan memintaku untuk memberikan padamu." kata ibu tersebut sambil memberikan sebuah amplop kecil padaku.
"Terima kasih, Bu." dalam hati aku berpikir, amplop apa ini.
Baru beberapa detik aku keluar dari stasiun, ponsel ku berbunyi. Ternyata hanya sms dari adikku.
Aku sedang ada masalah dengan suamiku.
Jangan ke rumahku. Aku tidak ada di rumah. Maaf.
Segera aku telpon saja adikku karena sms akan makan waktu sekian menit lebih lama.
Namun adikku tak menjawab panggilanku. Lima kali, delapan kali, lagi-lagi ia tolak panggilanku. Kali kesepuluh, adikku benar-benar mematikan ponselnya.
Ingin aku teriak dan marah pada siapa saja. Kenapa kota ini begitu membuatku rumit. Tak ada suasana hati yang tenang sidikit saja ketika berada di kota ini. Tidak sekarang, tidak dua tahun lalu, sama saja! Kota ini selalu mengotori suasana hatiku. Sesekali aku mengutuk adikku. Sesekali aku mengkhawatirkannya dan berharap ia baik-baik saja.
Hari semakin gelap, bus terakhir menuju rumah adikku telah lewat, dan aku masih belum bisa menghubungi adikku. Aku masih di stasiun. Aku terjebak di kota dataran tinggi yang tak banyak transportasi seperti di kota ku. Aku berharap ada seseorang yang memberiku kabar tentang adikku, hingga aku tau kemana aku harus pergi.
Hingga malam tiba, tak juga ada kabar darinya. Nampaknya kebencianku pada kota ini membuatku tak bisa berpikir jernih. Aku pun memutuskan untuk membeli tiket kereta untuk kembali pulang. Namun Tuhan benar-benar mengujiku, mencoba untuk lebih memanusiakanku dengan masalah baru. Aku kehabisan tiket kereta dan harus pulang esok lusa. Dimana esok lusa adalah hari Senin. Hari dimana aku harus kembali bekerja karena jika tidak, bos ku tak akan segan untuk memecatku. Aku tak bisa dengan mudah dapat pekerjaan karena pendidikanku yang memang tidak tinggi.
Baiklah, jika memang begitu. Aku yakin, ada yang ingin Tuhan sampaikan padaku. Setidaknya aku harus yakin begitu. Aku hanya merasa ini tak cukup adil bagiku. Kenapa aku yang harus menanggung ketidakadilan ini padahal adikku yang membuat masalah. Susahkah bagi Tuhan untuk memberi kebahagiaan padaku sedikit saja? Susahkah bagi-Nya untuk melihat senyumku? Untuk mendengar tawaku? Susahkah?
Tuhan, aku benar-benar berharap agar Kau mau mengakhiri ini semua.
Tak cukupkah bagi-Mu menyaksikanku menangisi pria yang menduakan ku dulu? Tak cukupkah Kau membuatku tidak diterima dimanapun dan memaksaku untuk bekerja di tempat hina tempatku bekerja saat ini? Apa Kau ingin menampung air mataku lebih banyak lagi?
Terpaksa, sejauh 5 km aku harus berjalan mencari tempat untuk menginap.
Cukup! Aku tak akan kembali ke kota ini lagi!
i like it nurin...I'm looking forward for the continuation :)
ReplyDelete