Tuesday, November 25, 2014

Dear Alfa,

Ini kali kedua aku menulis surat untukmu. Nampaknya kau memang menjawab surat pertamaku dengan begitu baik. Tapi bagaimanapun kau tak bisa apa-apa. Karena ternyata waktu masih ingin mengajak kita bermain. 

Kita bertemu entah bagaimana reka dayanya, hingga kita benar-benar berjumpa. Dalam keadaan kita yang masih saja sendiri. Hanya diri kita dan ego kita masing-masing.


Kau hadir dengan senyuman itu, dan menjadikanku temanmu. Ya. Aku pun tak pernah sedetikpun menyangka kalau kita akan benar-benar berteman. "Aku sudah melupakan semua rasaku pada gadis itu," katamu dengan wajah datarmu. Kamu tak perlu mempertanyakan apa-apa padaku. Aku selalu mempercayaimu. Meski dengan semua tipu daya, maksud hati yang tak bisa kulihat, atau apapun niatmu, AKULAH YANG SELALU PERCAYA SEMUA KATAMU. Setan manapun juga tahu hal itu.

Waktu menghentakkan kebersamaan kita dan menjadikannya begitu indah dengan caramu. Bukan. Cara KITA. Kau selalu berkata indah dan aku tak dapat mengelak semua itu. Aku masih tak percaya kau yang kemudian bersamaku untuk saat ini. Benar-benar bersamaku. Kita benar-benar bersama.

Kita punyai semua yang tak kita punya dimasa lalu. Kita tertawa bersama, berjalan bersama, dan mata kita seringkali bertemu untuk waktu yang lebih lama dari saat kita kuliah dulu. Meski memang tak pernah kau ucap satu kata pun yang mewakili perasaanmu yang sesungguhnya padaku. Meski tak pernah kudapati kau menyentuhku satu mili kulit pun. Aku tak akan menyesali itu. Sungguh. Aku selalu tahu bagaimana perasaanmu dari mata kita yang saling bicara. Karena aku percaya padamu.

Aku bersyukur bisa mengenalmu dalam diam, menyayangimu dalam tenang, mempercayaimu dengan tanpa alasan dan bersamamu dalam keramaian. Itulah rasaku. Itulah yang ingin kusampaikan padamu. Aku belum menemukan cinta padamu, tapi aku merasa penuh. Aku merasakan semua yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Sedih, senang, sepi yang begitu sepi, hingga rindu yang benar-benar membuatku ingin melihatmu (hanya melihatmu meski tanpa bertemu), khawatir, cemas, cemburu, dan semua rasa yang tak pernah aku tahu itu apa namanya.

Tapi, Alfa, kau harus tahu satu hal. Satu hal yang kamu harus mengerti. Rasa percayaku seolah hilang ketika aku mengetahui bahwa kamu masih menyimpan foto-foto kalian. Iya. Kamu dan gadis cantik itu. Tak hilang sepenuhnya memang, tapi tak pernah aku merasa sekecewa itu. Kau sudah berhasil meyakinkanku, merampas kepercayaanku, tapi kau sendiri yang memberi celah pada cemburu untuk mengikisnya perlahan-lahan.

Terkadang atau bahkan sering aku berpikir. Apa yang benar-benar ada dihatimu? Atau 'siapa' lebih tepatnya? Apa yang kau benar-benar rasakan saat kau bersamaku? Apakah aku ini hanya tempat membuang kesepianmu karena kau sedang sendiri? Apakah aku ini hanya untuk sementara hingga kau menemukan yang benar-benar kau sukai? Apakah aku ini hanya untuk membodohi temanmu yang pernah kusukai dulu? Apakah aku ini hanya pelampiasan rasa sedihmu? 

Lalu kenapa kau tampak begitu malu ketika pergi berdua denganku? Andai kau bisa lihat senyummu yang seolah kau pakasakan itu. Kenapa kau tampak diam di depan teman-temanmu dan seolah tak mengenalku? Kenapa kau hanya bisa berkata-kata melalui telepon genggammu? Kenapa kau terasa begitu jauh saat kenyataanya kita seakrab ini? Kenapa aku tak bisa benar-benar mengenalmu dan isi hatimu? Kenapa aku selalu sesedih ini ketika aku harus berpikir tentangmu?

Bagaimanapun aku tetap bersyukur karena telah mengenalmu. Tak akan pernah kusesali itu. Jika kau memang baik, maka memang yang kuperlukan hanya limpahan syukur padaNya. Jika kau memang tak sebaik apa yang tampak padaku, maka yang kuperlukan hanya rasa sabar dan kemampuan untuk belajar agar tak pernah ku percaya semudah ini.

Kini aku hanya ingin kita diam. Jangan hubungi aku jika tak ada kepentingan. Dan begitu pula aku, tak akan mengganggumu. Aku ingin meraih kembali waktu untuk mengumpulkan diriku kembali. Aku ingin segera bangun dan tersadar, hingga aku bisa melihat semua hal nyata dan tidak se-delusif ini.

Memang, waktulah yang kau harap bisa berpihak kepada kita. Itu katamu. Tapi entahlah. Bagaimana aku harus percaya bahwa kau dan rasamu padaku itu benar-benar nyata?
Semoga waktu dapat membantu menjawab itu dengan detik atau hari. Bukan bulan atau tahun. Karena aku tak bisa tahan sakit dan sedihnya.

1 comment:

  1. Is this the reason you didn't answer my last question when we're having a video call?

    ReplyDelete