Monday, April 7, 2014

Isyarat Cermin

Aku melihat bayanganku sendiri di cermin ketika kerumunan orang yang mengaku kenal denganku sedang berdesakan di depan pintu ruangan itu hanya demi menemuiku. Aku tak bisa melihat pantulan diriku dengan jelas. Yang bisa kulihat saat itu hanya riasan tebal di wajahku, warna rose yang menempel indah di kuku-kuku tanganku, dan asap rokok yang mengepul keluar dari mulutku.

Aku mengambil napas panjang untuk ke dua atau tiga kalinya. Aku gugup sekali. Ini jauh membuatku lebih gugup daripada ketika aku pertama kali bernyanyi di depan ratusan pasang mata. Aku menghisap rokokku dalam-dalam. Aku berharap rokok buatan pabrik ini cukup untuk menenangkanku, meski hanya sebentar.

Pikiranku melayang ketika menghisap rokokku dalam-dalam. Pada hisapan ke lima, otakku mendorongku kembali ke tiga belas tahun yang lalu ketika usiaku masih belasan. Mataku nanar melihat bayangan ibuku di cermin yang kupandangi. Aku melihat betapa cantiknya ibuku dengan gaun pestanya yang berwarna merah, sedang berdiri di sebuah ruangan. Ibuku yang sedang tertawa menandakan bahwa ia tak sendirian di situ. Seorang lelaki mendekatinya dan kemudian dengan lembut menciumnya, begitu mesra. Dan pria itu, bukanlah ayahku. Napasku terhenti sesaat dan aku kembali tersadar ketika bayangan ibuku menghilang dari cermin yang kupandangi. Napasku memberat. Membuatku tersengal-sengal jadinya. Segera kuhisap rokokku dalam-dalam untuk mengaburkan bayangan ibuku dengan asapnya.

Kerumunan yang sedaritadi meneriakkan namaku masih saja setia di depan pintu, bahkan teriakan mereka makin meliar. Sesekali aku menoleh ke arah jendela yang sedikit terbuka dan bertanya pada diriku sendiri, apa yang harus kulakukan?

Kembali aku memandangi cermin dan menghisap batang rokok yang kian menyusut dan habis abunya. Kali ini aku melihat bayangan ayahku yang sedang berdiri di depan perapian rumah kami. Ayahku  berdiri dengan begitu gagah dan tampan lengkap dengan seragam tentaranya. Namun ada yang salah kali ini, ayahku sangat  amat marah, wajahnya merah padam, napasnya mendengus bagai banteng yang mengamuk. Ia tak sendirian. Ada ibuku yang terseret terhuyung-huyung memegangi kaki kanannya. Ibuku menangis dan mengucap kata maaf ribuan kali. Ayahku yang terus menyeret kakinya mencoba melangkah keluar rumah. Gusar dengan tidakan ibu, seketika ia mengambil vas kaca yang bertengger diatas perapian untuk ia luncurkan ke kepala ibu dengan kerasnya. Dan bayangan itu hilang dari cermin seiring dengan mengucurnya darah kental nan segar dari kepala ibuku.

Segera aku mencari batang rokok untuk kuhisap. Namun sayang, aku kehabisan. Tak ada sebatang rokok pun yang dapat membantuku mengaburkan bayangan ayah dan ibuku dari cermin kotak yang dikelilingi bohlam itu. Tak pikir panjang, aku lemparkan sepatu hak tinggi kesayangan yang sedang kupakai untuk memecahkan cermin keparat itu.

“Ester! Ester! Kami ingin bertemu Ester!” Aku benci suara-suara itu. Aku benci teriakan mereka. Aku muak mendengar namaku sendiri. Aku bosan dengan bayanganku di cermin yang dikelilingi bohlam.

Aku pun mencari cara untuk melakukannya. Yaitu melakukan hal yang membuatku sangat gugup belakangan ini. Aku akan melakukannya dengan cepat, pikirku. Berulang kali kutarik napasku dalam-dalam dan menutup mataku. Dan pecahan cermin itu memberiku inspirasi terbaik. Segera ku ambil pecahan yang terpanjang, kutelan seluruh isi botol yang bertuliskan Liquor yang ada di meja dan kututup mataku rapat-rapat. Tanpa kusadari pecahan cermin itu telah berhasil menyobek perutku dan melukai seluruh organ yang ada didalamnya. 

Kubuka mataku perlahan-lahan. Aku masih menggenggam pecahan cermin yang berlumuran darah itu di tangan kananku. Dan dari pecahan cermin itu, untuk pertama kalinya, aku melihat bayangan diriku sendiri tersenyum.

0 comments:

Post a Comment