Aku melihat bayanganku sendiri di
cermin ketika kerumunan orang yang mengaku kenal denganku sedang berdesakan di
depan pintu ruangan itu hanya demi menemuiku. Aku tak bisa melihat pantulan
diriku dengan jelas. Yang bisa kulihat saat itu hanya riasan tebal di wajahku,
warna rose yang menempel indah di kuku-kuku tanganku, dan asap rokok yang
mengepul keluar dari mulutku.
Aku mengambil napas panjang untuk
ke dua atau tiga kalinya. Aku gugup sekali. Ini jauh membuatku lebih gugup
daripada ketika aku pertama kali bernyanyi di depan ratusan pasang mata. Aku
menghisap rokokku dalam-dalam. Aku berharap rokok buatan pabrik ini cukup untuk
menenangkanku, meski hanya sebentar.
Pikiranku melayang ketika
menghisap rokokku dalam-dalam. Pada hisapan ke lima, otakku mendorongku kembali
ke tiga belas tahun yang lalu ketika usiaku masih belasan. Mataku nanar melihat
bayangan ibuku di cermin yang kupandangi. Aku melihat betapa cantiknya ibuku
dengan gaun pestanya yang berwarna merah, sedang berdiri di sebuah ruangan.
Ibuku yang sedang tertawa menandakan bahwa ia tak sendirian di situ. Seorang
lelaki mendekatinya dan kemudian dengan lembut menciumnya, begitu mesra. Dan pria
itu, bukanlah ayahku. Napasku terhenti sesaat dan aku kembali tersadar ketika
bayangan ibuku menghilang dari cermin yang kupandangi. Napasku memberat.
Membuatku tersengal-sengal jadinya. Segera kuhisap rokokku dalam-dalam untuk
mengaburkan bayangan ibuku dengan asapnya.
Kerumunan yang sedaritadi
meneriakkan namaku masih saja setia di depan pintu, bahkan teriakan mereka
makin meliar. Sesekali aku menoleh ke arah jendela yang sedikit terbuka dan
bertanya pada diriku sendiri, apa yang
harus kulakukan?
Kembali aku memandangi cermin dan
menghisap batang rokok yang kian menyusut dan habis abunya. Kali ini aku
melihat bayangan ayahku yang sedang berdiri di depan perapian rumah kami.
Ayahku berdiri dengan begitu gagah dan
tampan lengkap dengan seragam tentaranya. Namun ada yang salah kali ini, ayahku
sangat amat marah, wajahnya merah padam,
napasnya mendengus bagai banteng yang mengamuk. Ia tak sendirian. Ada ibuku yang terseret terhuyung-huyung memegangi kaki kanannya. Ibuku menangis dan mengucap
kata maaf ribuan kali. Ayahku yang terus menyeret kakinya mencoba melangkah
keluar rumah. Gusar dengan tidakan ibu, seketika ia mengambil vas kaca yang
bertengger diatas perapian untuk ia luncurkan ke kepala ibu dengan kerasnya.
Dan bayangan itu hilang dari cermin seiring dengan mengucurnya darah kental nan
segar dari kepala ibuku.
Segera aku mencari batang rokok
untuk kuhisap. Namun sayang, aku kehabisan. Tak ada sebatang rokok pun yang
dapat membantuku mengaburkan bayangan ayah dan ibuku dari cermin kotak yang
dikelilingi bohlam itu. Tak pikir panjang, aku lemparkan sepatu hak tinggi
kesayangan yang sedang kupakai untuk memecahkan cermin keparat itu.
“Ester! Ester! Kami ingin bertemu
Ester!” Aku benci suara-suara itu. Aku benci teriakan mereka. Aku muak
mendengar namaku sendiri. Aku bosan dengan bayanganku di cermin yang
dikelilingi bohlam.
Aku pun mencari cara untuk
melakukannya. Yaitu melakukan hal yang membuatku sangat gugup belakangan ini. Aku akan melakukannya dengan cepat,
pikirku. Berulang kali kutarik napasku dalam-dalam dan menutup mataku. Dan
pecahan cermin itu memberiku inspirasi terbaik. Segera ku ambil pecahan yang
terpanjang, kutelan seluruh isi botol yang bertuliskan Liquor yang ada di meja dan kututup mataku rapat-rapat. Tanpa
kusadari pecahan cermin itu telah berhasil menyobek perutku dan melukai seluruh
organ yang ada didalamnya.
Kubuka mataku perlahan-lahan. Aku masih menggenggam pecahan cermin yang berlumuran darah itu di tangan kananku. Dan dari pecahan cermin itu, untuk pertama kalinya, aku melihat bayangan diriku sendiri tersenyum.
Kubuka mataku perlahan-lahan. Aku masih menggenggam pecahan cermin yang berlumuran darah itu di tangan kananku. Dan dari pecahan cermin itu, untuk pertama kalinya, aku melihat bayangan diriku sendiri tersenyum.
0 comments:
Post a Comment