Monday, May 12, 2008

Madzhab Imam Hanbali


Ahmad bin Hanbal adalah seorang muhadits, fakih, dan mujtahid Madzhab Hanbali. Ia lahir di Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/ 780 M dan wafat pada tahun 241 H/ 855 M di kota yang sama. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Ia dikenal dengan nama bin Hanbal (putra Hanbal), meski sebenarnya Hanbal adalah nama kakeknya, karena sang kakek lebih terkenal daripada ayahnya. Ayahnya adalah seorang tentara, sedangkan kakeknya adalah seorang gubernur untuk Dinasti Bani Umayyah di walayah Sarkhas, Khurasan.
Ayahnya meninggal ketika Ahmad bin Hanbal masih sangat kecil.
Sejak itu, beliau hidup yatim dan diasuh oleh ibunya dalam kemiskinan, sebab ayahnya tidak meninggalkan warisan kecuali sebuah rumah kecil yang ditinggalinya dan sepetak tanah yang tidak begitu luas. Sejak kecil, beliau sudah belajar baca tulis Arab dan menghafal Al-Qur’an. Untuk memenuhi kebutuhannya, disela-sela kegiatan belajarnya, beliau melakukan berbagai pekerjaan, seperti menjahit pakaian, menjadi juru tulis, dan kuli angkut barang. Bahkan, sesekali beliau terpaksa mengumpulkan sisa-sisa panen di ladang. Namun demikian, semangat untuk menuntut ilmu tidak pernah pudar.
Awalnya Ahmad belajar fiqih dan hadits kepada Abdu Yusuf, murid imam Abu Hanifah yang menjadi hakim agung di Baghdad. Selanjutnya, beliau belajar kepada Hasyim bin Basyir, seorang ahli hadits terkemuka di Baghdad. Kemudian beliau melanjutkan belajar dengan berkelana ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, Madinah, Yaman, dan Mekkah. Di kota yang terakhir inilah beliau belajar fiqih dan ushul fiqih kepada Imam Syafi’i. Setelah Imam Syafi’i kembali ke Baghdad, Ahmad sekali lagi belajar kepadanya. Di samping itu, diantara guru-gurunya yang lain adalah Umair bin Abdullah, Abu Bakar bin ‘Iyasy, dan Sufyan bin ‘Uyainah.
Meski dililit kemiskinan, semangat belajar Ahmad bin Hanbal tetap membara. Perjalanannya ke berbagai kota untuk menuntut ilmu kerap dilakukannya dengan berjalanan kaki dan tanpa bekal yang memadai. Ketika pergi ke Yaman, misalnya, sepanjang perjalanan Ahmad harus bekerja sebagai kuli angkut barang. Semangatnya menuntut ilmu juga terlihat ketika seseorang bertanya kepadanya, “Sampai kapan Anda akan menuntut ilmu, padahal Anda sudah mencapai derajat ini dan menjadi imam kaum muslim?” Ia menjawab, “Bagiku, tetap bersamatempat tinta hingga keliang kubur.”
Selain menunjukkan semangat belajar yang tinggi, jawabannya iitu menunjukkan kehati-hatian dan ketelitiannya dalam soal ilmu pengetahuan. Meski memiliki hafalan yang sangat kuat, beliau selalu mencatat hadits yang didengar dari guru-gurunya. Begitu pula, meski hafal di luar kepala, beliau selalu mendiktekan hadits kepada murid-muridnya langsung dari catatannya.
Diantara berbagai bidang ilmu, ilmu hadits adalah ilmu yang paling digemari dan dicintainya. Beliau memang sangat ingin mencontoh kehidupan Rasulullah saw. dalam segala aspeknya. Tidak heran, selain Al-Qur’an, dalam menggali hukum beliau sangat menekankan hadits sebagai sumber utama. Menurutnya, sebelum berijtihad menggunakan ra’yu, sebuah hukum harus dicari secara teliti dan seksama dalam Al-Qur’an dan hadits. Jika tidak ditemukan, beliau baru berpaling kepada kesepakatan dan fatwa para sahabat serta kesepakatan para ulama bila ada. Beliau juga menerima hadits dhaif jika tidak menjumpai dalil yang lain, selama tidak bertentangan dengan kaidah agama atau hukum yang ditetapkan dalma hadits shahih. Beliau berpandangan bahwa hadits dhaif tetap lebih baik daripada pandangan manusia biasa. Karena ada dugaan, bahwa betapa pun lemahnya, berita tersebut berasal dari Rasulullah saw. Setelah itu, baru beliau berijtihad menggunakan qiyas, maṣhlaḥah mursalah, dan sadd adz-dzari’ah.
Kecintaanya kepada hadits terlihat dari kitab-kitab yang ditulisnya. Semua kitab karyanya berisi hadits Nabi, fatwa sahabat, atau berkenaan dengan ilmu hadits. Diantara karyanya yang paling terkenal adalah kitab Musnad Aḥmad, salah satu dari al-kutub at-tis’ah (sembilan kitab rujukan hadits yang utama). Diantara kitab-kitabnya yang lain adalah Fadha’il aṣ-ṣahabah, al-‘Ilal wa ar-Rijal, an-Nasikh wa al-Masukh, aṣ-Ṣughra. Adapun pandangan-pandangan fikihnya tidak dibukukannya sendiri. Murid-muridnyalah yang menghimpun dan menyebarkan ajaran-ajarannya dibidang fiqih yang kemudian berkembang menjadi Madzhab Hanbali.
Ahmad bin Hanbal mulai mengajar pada usia 40 tahun. Setiap hari beliau mengajar dua kali, yakni satu untuk umum, yang diadakan setelah sholat ashar disebuah masjid di Baghdad, dan yang kedua untuk kalangan tertentu, yang diselenggarakan di kediamannnya. Diantara murid-muridnya adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Ali bin al-Madini, Abu Zar’ah, dan Shalih, putra tertuanya.
Selain kedalaman ilmu dan keahliannya dalam bidang hadits, Ahmad bin Hanbal juga terkenal karena keteguhannya memegang pendapat yang diyakininya. Ketika paham Muktazilah menjadi madzhab resmi Daulah Abbasiyah pada masa Khalifah al-Ma’mun, semua ulama dipaksa mengakui bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Ahmad bin Hanbal menolak dan tetap menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan makhluk, melainkan kalam Allah. Karena hal itu, beliau mendapat siksaan dan dipenjara untuk beberapa lama, hingga akhirnya dilepaskan pada masa kekhalifahan al-Mu’tasim. Beberapa waktu kemudian, ketika naik tahta menjadi khalifah, al-Mutawakkil merasa bersalah dan berupaya memperbaiki kesalahan para pendahulunya. Ia berkali-kali memberikan sejumlah besar harta kepada Ahmad bin Hanbal, namun terus-menerus ditolak. Akhirnya, karena mendapat banyak tekanan, Ahmad bin Hanbal menerimanya, namun kemudian menyedekahkan seluruh harta tersebut.


source: Ensiklopedia Fikih Remaja

0 comments:

Post a Comment