Friday, June 13, 2008

Madzhab Imam Hanafi

Abu Hanifah adalah seorang ahli fikih dan mujtahid pendiri Madzhab Hanafi. Ia lahir di Kufah, Irak, pada tahun 80 H / 699M, dan meninggal pada tahun 150 H / 767 M di Baghdad, Irak. Nama lengkapnya Nu’man bin Tsabit. Ia mendapat julukan Abu Hanifah karena ketekunan dan kesungguhannya dalam beribadah. Dalam bahasa Arab, kata ḥanif berarti lurus atau suci.
Ayahnya adalah seorang pedagang sukses keturunan Persia. Mengikuti jejak ayahnya, sedari muda Abu Hanifah menyibukkan diri dengan berdagang pakaian di sebuah toko yang diwarisinya dari sang ayah.
Hingga suatu kali, ia berjumpa dengan asy-Sya’bi. Ulama terkemuka di Kufah inilah yang menyarankannya agar meluangkan sebagian waktu untuk menuntut ilmu karena pada dirinya terlihat tanda-tanda bakat dan kecerdasan.
Sejak saat itu, selain tetap berdagan, Abu Hanifah dengan tekun mulai belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti ilmu bahasa Arab, ilmu hadits, ilmu kalam, dan ilmu fikih. Ia berguru kepada banyak ulama, di antaranya Hammad bin Abu Sulaiman, Zaid bin Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, dan Ja’far as-Sadiq. Di antara guru-gurunya tersebut, Hammad adalah guru yang paling berpengaruh.
Abu Hanifah sangat taat dan hormat kepada kedua orangtuanya, terutama ibunya. Dikisahkan bahwa suatu kali ibunya menyuruhnya menanyakan suatu persoalan kepada Umar bin Dzar, seorang ulama di lingkungannya. Umar bertanya, “Kenapa kamu menanyakan hal ini kepadaku? Bukankah kamu lebih tahu?” Abu Hanifah menjawab, “Ibu menyuruhku menanyakannya kepadamu.” Diwaktu lain ibunya bertanya mengenai suatu persoalan fikih. Abu Hanifah memberinya fatwa, namun sang ibu berkata, “Tidak, aku tidak menerima fatwa kecuali dari Zar’ah.” Lalu pergilah Abu Hanifah kepada Zar’ah dan bertanya kepadanya. Dengan terheran-heran Zar’ah berkata,”Engkau lebih tahu dan lebih ahli dalam bidang fikih ketimbang aku, maka berikanlah fatwa kepada ibumu.” Abu Hanifah menjawab, “Aku sudah memberinya fatwa, tetapi ia tidak mau menerima.” Zar’ah kemudian berkata, “Sampaikan kepada ibumu, jawabanku adalah apa yang dikatakan Abu Hanifah.”
Selain dikenal taat terhadap ibunya, Abu Hanifah juga masyhur sebagai pedagang yang jujur dan tidak pernah mengambil untung terlalu banyak dalam menjual sesuatu. Suatu ketika ia menugaskan rekan kerjanya, Hafs bin Abdurrahman, untuk menjual sebuah pakaian yang memiliki cacat. Ia berpesan agar Hafs menunjukkan cacat itu kepada orang yang hendak membelinya, namun Hafs lupa melakukannya. Abu Hanifah kemudian berusaha keras mencari si pembeli untuk memberitahu kecacatan pakaian tersebut. Karena tidak berhasil menemukan pembeli itu, maka Abu Hanifah menyedekahkan seluruh hasil penjualan baju tersebut.
Meskipun sukses dalam perniagaan dan terhitung cukup kaya, Abu Hanifah tetap menjaga sikap zuhud. Ia tidak pernah menyimpan uang lebih dari empat ribu dirham (uang perak). Selebihnya ia sedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan, teman-teman serta murid-muridnya. Ia menyatakan, “Kalau saja aku tidak khawatir akan membutuhkan uang itu, niscaya aku tidak akan menyisakan barang satu dirham pun.”
Setelah gurunya, Hammad, wafat, Abu Hanifah mulai berijtihad secara mandiri dan menggantikan posisi gurunya sebagai pengajar di ḥalaqah (lingkaran pengajian) yang diselenggarakan di masjid Kufah. Dari ḥalaqah ini, lahir banyak sekali murid Abu Hanifah yang kemudian menjadi ulama besar dan mengembangkan Madzhab Hanafi. Diantara mereka adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim yang kemudian menjabat sebagai qaḍi al-quḍat (hakim agung yang membawahkan hakim-hakim lain) pada Dinasti Abbasiyah, Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani yang menjadi hakim pada masa kekhalifahan Harun ar-Rasyid, Zufr bin al-Huzail yang menjadi hakim di Basrah, dan al-Hasan bin Ziyad yang menjabat sebagai hakim di Kufah.
Karena pengetahuannya yang mendalam mengenai ilmu fikih, dikalangan murid dan pengikutnya Abu Hanifah dijuluki al-imam al-a’ẓam (imam agung). Kepakarannya tidak hanya diakui oleh murid-muridnya, tetapi juga oleh ulama yang berbeda pandangan dengannya. Misalnya, Imam Malik bin Anas, pendiri Madzhab Maliki, mengatakan bahwa ia tidak pernah bertemu orang yang lebih alim dibanding Abu Hanifah. Pun Imam Syafi’i, beliau pernah berkata, “Semua orang sebenarnya adalah pengikut Abu Hanifah dalam urusan fikih.” Meski begitu, Abu Hanifah tetap rendah hati. Mengenai pandangan-pandangannya, ia berkata,”Perkataanku ini hanyalah sebuah pendapat. Hal itu adalah yang terbaik yang aku mampu. Maka, siapa pun yang mengajukan sesuatu yang lebih baik daripada perkataanku, ia lebih benar ketimbang aku.”
Sikap zuhud dan hati-hatinya juga ditunjukkannya dengan menjauh dari penguasa. Beberapa kali ia diminta khalifah untuk menduduki jabatan hakim dan kepala bait al-mal (kantor perbendaharaan negara), namun ia menolak. Karena penolakannya ini ia mendapat hukuman cambuk seratus kali dan hukuman penjara. Namun, ia tetap bersikukuh tidak mau menerima jabatan tersebut. Bahkan diriwayatkan bahwa ia meninggal dalam penjara. Demikianlah, Abu Hanifah berhasil memadukan tiga hal sekaligus, yaitu kedalaman ilmu, kesuksesan bisnis, dan ketaatan beribadah.
Dalam menggali hukum, seperti ulama fikih lainnya, Abu Hanifah menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber utamanya, kemudian hadits. Satu hal yang menjadi ciri khas pandangannya adalah ia memberikan peranan yang cukup besar kepada ra’yu (penggunaan penalaran akal dalam menggali hukum) dengan cara qiyas (perbandingan) dan istiḥsan. Selain itu, ia juga banyak menjelaskan hukum persoalan-persoalan teoretis yang belum benar-benar terjadi. Sebab itulah ia dikenal sebagai imam aḥl ar-ra’yi (pemuka kalangan ra’yu).
Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tertulis mengenai ajaran fikihnya. Pandangan-pandangannya sampai kepada kita melalui kitab-kitab yang ditulis oleh murid-muridnya, terutama Abu Yusuf dan Abu Abdillah. Diantara karya Abu Yusuf adalah kitab al-Kharraj, al-Ashar, dan ar-Radd ‘ala Sair al-Auza’i fi ma Khalafa fihi Aba Hanifah. Sementara, tulisan Abu Abdillah antara lain kitab al Mabsuth, az-Ziyadat, al-Jami’ al-Kabir, dan al-Jami’ ash-Shaghir.
Selain melalui kitab-kitab yang ditulis oleh murid-muridnya, pandangan Abu Hanifah juga tersebar berkat fatwa dan keputusan murid-muridnya yang menjadi keputusan murid-muridnya yang menjadi hakim. Jasa paling besar dalam hal ini disumbangkan oleh Abu Yusuf dengan jabatannya sebagai hakim agung.


source: Ensiklopedia Fikih Remaja

0 comments:

Post a Comment